Home | » | Ekonomi & Investasi |

Kupang,Flobamora.net - Hampir semua kementerian dan lembaga pusat melaksanakan program pembangunan di wilayah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Sejalan dengan hampir semua program yang dilaksanakan, tidak terlalu signifikan, karena hanya hebat di judul tapi isinya tidak ada.
Penegasan ini disampaikan Kepala Bappeda NTT, Wayan Darmawa di Kupang, Senin (23/11). Wayan menjelaskan, sebelum terbentuknya Badan Perbatasan Nasional, pembangunan di perbatasan lebih kelihatan. Salah satunya adalah dibangunnya rumah sakit (RS) di Betun, Kabupaten Malaka. Namun setelah adanya lembaga dimaksud dan hampir semua kementerian memberi perhatian terhadap pembangunan di perbatasan, hampir tidak terlihat hasilnya.
“Memang banyak program dilaksanakan di wilayah perbatasan, tapi isi programnya belum berkorelasi dengan kebutuhan masyarakat dan daerah,” kata Wayan.
Dia mengakui, perkembangan pembangunan di Provinsi NTT sempat tidak stabil dalam beberapa tahun. Menyikapi hal tersebut, sejak tahun 2011 pemerintah NTT meletakkan pembangunan berbasis desa/kelurahan melalui program Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM). Dimana setiap desa/kelurahan penerima program itu diberikan dana hibah bergulir sebesar Rp250 juta. Pelaksanaan program tersebut menunjukkan trend positif, dimana bisa meningkatkan ekonomi masyarakat penerima.
Wayan menjelaskan, produktivitas tenaga kerja di bidang pertanian sebesar 0, 56 dan sekunder 0, 76. Walau produktivitas di bidang pertanian hanya 0, 56 tapi penyerapan tenaga kerja mencapai 61 persen. Dengan demikian, pemerintah terus mendorong sektor pertanian, walaupun minat masyarakat di bidang pertanian terus menurun dan beralih ke sektor jasa.
Wayan
meminta agar Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal NTT memperjuangkan aspirasi
daerah di tingkat pusat. Sehingga program yang diturunkan bisa menjawabi
kebutuhan daerah dan masyarakat.
Anggota DPD RI Adrianus Gharu menyatakan, kendala yang dihadapi dalam tugasnya
sebagai utusan daerah di DPD RI adalah kurang maksimalnya suport data dari
pemerintah daerah, baik kabupaten/kota maupun provinsi. Akibatnya, yang
diperjuangkan di tingkat pusat hanya sebatas apa yang diketahui tanpa
dilengkapi dengan data yang akurat.
Semestinya pemerintah tidak segan memberikan data kepadanya termasuk tiga anggota DPD RI asal NTT untuk diperjuangkan di tingkat pusat. Karena kepentingan DPD semata- mata untuk rakyat tanpa ada kepentingan partai politik.“Kami bukanlah calo proyek, sehingga pemerintah daerah takut untuk menyerahkan data,” tandas Adrianus.
Menurutnya, bila dicermati, politik anggaran yang terjadi selama ini masih menggunakan “piramida terbalik.” Artinya, anggaran yang dikucurkan ke daerah sangat sedikit, sementara yang menerima aliran dana cukup banyak, malah pejabat di pemerintah pusat. Padahal masyarakat berada di daerah seperti desa, kecamatan dan kabupaten, sementara yang berada di pemerintah pusat hanya segelintir pejabat. Dengan kata lain, yang dekat dengan masyarakat adalah pemerintah daerah, bukan pejabat di kementerian atau lembaga.
“Alokasi anggaran seharusnya menggunakan “piramida normal”, yakni yang runcing ke atas, bukan lancip ke bawah. Anggaran untuk pemerintah pusat sedikit saja, karena tumpukan masyarakat bukan di pusat tetapi di daerah- daerah. Yang berhak menerima anggaran lebih besar adalah daerah- daerah karena mereka yang langsung berhadapan dengan rakyat,” kata Adrianus.***
-
TAG:
- ekonomi
REKOMENDASI
- 5 Hal yang Bisa Menurunkan Libido Anda
- Mourinho dan Manchester United Capai Kata Sepakat
- 6 Makanan Sederhana Penurun Kolesterol
- Begini Respons Orang Rimba usai Dikunjungi dan Dijanjikan Rumah oleh Jokowi
- Menteri Susi: Jangan Sampai Kita Kalah dengan Negara Kecil
- Jokowi Beberkan Hoaks dari Surat Suara Hingga Ratna Sarumpaet
KOMENTAR ANDA Pedoman Mengirim Komentar
0 komentar