
Home | » | Nasional |

- Update Covid-19 NTT : Gawat, Pasien di Kota Kupang Saat Ini Mendekati Seribu
- Usai Terima Vaksin, Tokoh Agama di Kupang Imbau Jemaat Siapkan Diri
- Update Covid-19 NTT : Jumlah Kasus Sudah 3.009, Ende Kembali ke Zona Merah
- Update Covid-19 NTT : Tambah 88 Kasus baru dan Enam Pasien Meninggal
- Update Covid-19 NTT : Tambah 181 Kasus baru, 33 Sembuh dan Empat Meninggal
JAKARTA – Proyek reklamasi di Indonesia, khususnya di Teluk Jakarta memiliki perbedaan persepsi dari reklamasi dalam arti sesungguhnya.
Reklamasi Teluk Jakarta, dinilai lebih merusak alam daripada tujuan reklamasi sebenarnya, yaitu untuk mengembalikan lahan yang sebelumnya sudah ada.
Dalam diskusi mengenai National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) terungkap bahwa reklamasi Teluk Jakarta mengubah bentang alam.
Koordinator Bidang Kajian Strategis Fakultas Perikanan dan Institut Pertanian Bogor (IPB) Alan F Koropitan menegaskan, reklamasi Teluk Jakarta sejatinya bukan reklamasi, melainkan mengubah bentang alam.
"Yang tidak ada pulau menjadi ada pulau. Contohnya, di Dubai, Uni Emirat Arab, itu yang tadinya tidak ada pulau menjadi ada,” ujar Alan di Goethe Institute, Jakarta, Jumat (13/5/2016).
Alan menuturkan, tujuan reklamasi di negara lainnya juga berbeda dibandingkan di Indonesia dan Dubai. Di Florida, Amerika Serikat, contonya. Reklamasi dilakukan pada pantai yang sudah mengalami abrasi.
Dalam hal ini, pemerintah Florida ingin mengembalikan lahan yang sebelumnya ada. Lahan tersebut telah tergerus oleh gelombang dan berangsur-angsur hilang.
Pasirnya sendiri, lanjut Alan, berasal dari lepas pantai. Pasalnya, jika pasir diambil dari dekat pantai atau pulau, justru akan membuat masalah baru.
Masalah ini antara lain diakibatkan dari hempasan energi gelombang yang menggerus pantai di sekitarnya.
Sementara di Belanda, reklamasi dibangun berdasarkan hal lain. Belanda telah mengalami penurunan muka tanah.
Sejak era 1500-1600, Belanda mulai beradaptasi dengan penurunan muka tanah yang hampir merata di seluruh pesisir.
“Apa yang mereka bangun? Dyke (bendungan), tapi jebol. Kemudian dibangun lagi dan ternyata jebol lagi. Nah, sejak tahun 1900-an, Belanda bangun dyke yang menyeluruh,” sebut Alan.
Hal ini, lanjut dia, menunjukkan bahwa Belanda telah mengalami proses teknologi adaptasi yang cukup panjang.
Mengacu pada kasus-kasus di atas, Alan menyarankan sebaiknya pemerintah Indonesia tidak langsung percaya begitu saja dengan tawaran Belanda yang ingin membantu membangun tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta.
Pasalnya, kondisi geografis Jakarta, berbeda dengan Belanda. Sistem yang akan diterapkan juga tidak sama.
URL SUMBER
-
TAG:
- ekonomi


- Update Covid-19 NTT : Gawat, Pasien di Kota Kupang Saat Ini Mendekati Seribu
- Usai Terima Vaksin, Tokoh Agama di Kupang Imbau Jemaat Siapkan Diri
- Update Covid-19 NTT : Jumlah Kasus Sudah 3.009, Ende Kembali ke Zona Merah
- Update Covid-19 NTT : Tambah 88 Kasus baru dan Enam Pasien Meninggal
- Update Covid-19 NTT : Tambah 181 Kasus baru, 33 Sembuh dan Empat Meninggal
REKOMENDASI
- SPBU Mawarani Operasi Lagi, Pemkab Dituding Tidak Hormati Rekomendasi DPRD
- Pemimpin Ponpes Boyolali Berpesan Jokowi Tetap Sederhana
- Kisah Dokter yang Bantu Kembalikan Keperawanan Wanita Yazidi Korban ISIS
- Ratusan Umat Hindu di Kota Kupang Hadiri Upacara Melasti
- Pelayanan RSUD Ende Lebih Baik dari RSUD Kupang
- `Juni, Mourinho Akan di Bangku Cadangan Real Madrid`
KOMENTAR ANDA Pedoman Mengirim Komentar
0 komentar